Jumat, 07 Agustus 2020

Merah Putih Berkibarlah selalu




Bila berziaroh ke makam kembar di sisi barat, bagian Rungkut Kidul. Terlihat bambu runcing berwarna kuning dengan bendera Merah Putih tertancap pada sebuah pusara.

Dari penelusuran beritanya, makam tersebut adalah milik Bapak Madenur. Seorang pejuang 1945 yang berdomisili hingga akhir hayatnya di Rungkut Kidul.


Menurut penuturan keluarganya yang masih hidup, Salah satu kisah heroiknya adalah saat masa pendudukan Jepang, kediamannya pernah dikepung oleh tentara Dai Nippon tersebut.

Mengetahui kedatangan tentara Jepang lengkap dengan bayonet di ujung senapan laras panjang, Bapak Madenur lalu sembunyi di bawah wuwungan rumahnya (batas antara atap dengan rangka genteng). Berdiri di antara kuda - kuda atap rumah.

Senapan dengan bayonet di ujungnya

Tentara "Sakura" yang tidak menemukannya di sela-sela ruang kamar, lalu mencoba spekulasi menusuk-nusuk bayonetnya pada atap rumah yang terbuat dari gedek (anyaman bambu). Tidak terbayangkan seandainya ujung bayonet menusuk bagian tubuh dari pejuang yang gigih membela bangsanya tersebut, atau bila tentara Jepang berhasil menangkapnya, pasti siksaan kejam para kempetai yang bermarkas di Kalisosok akan menderanya.

Setelah Indonesia Merdeka, Bapak Madenur melanjutkan kehidupannya dengan berjualan nasi rawon, pecel, lodeh dan es balok pada warung di dekat makam kembar, sebelum akhirnya di masa tua warungnya harus boyong ke rumahnya di Rungkut Kidul gg SS dikarenakan harga sewa warung dipinggir jalan semakin "meroket", dan tidak mampu untuk memenuhinya.

Semangat keperwiraan, berani berjuang, rela berkorban tanpa pamrih, dan tidak pernah mengharapkan tanda jasa demi bangsa dan negara patut menjadi teladan bagi generasi selanjutnya.

Dalam sanubarinya terpatri jiwa "Merah Putih" yang dibawa hingga menghadap kepada Sang Ilahi.

Sebagai generasi penerus, malu rasanya bila tidak mewarisi semangat Nasionalisme dan Patriotisme para pejuang, apalagi yang masih "enggan" untuk memasang bendera Merah Putih di depan rumahnya, itupun hanya setahun sekali di bulan Agustus. Sedangkan buah jerih payah para pejuang berupa alam kemerdekaan tinggal kita nikmati bersama

Kisah ini ditulis dalam menyongsong peringatan HUT Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia ke - 75, di tengah musim pandemi Covid-19, kita sesama warga belum tentu bisa duduk bersama dalam malam tirakatan dan kirim doa.

Tetapi dalam setiap akhir membaca kisah kepahlawanan para pejuang kemerdekaan, tetap  terkirimkan doa untuk mereka

Merdeka...(Al-Fatichah)

Bersama isteri di Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya

Bersama dengan cucu

Cicit - cicitnya berziarah di pusara





2 komentar: