Rabu, 13 Oktober 2010

SEKOLAH ZAMAN KOLONIAL BELANDA

Mengulas kembali jejak sejarah pendidikan di zaman penjajahan Belanda, menghasilkan perbandingan yang begitu jauh dengan sistem pendidikan di era kemerdekaan dan reformasi dewasa ini, begitu sulitnya kaum pribumi untuk mendapatkan pendidikan yang sesuai dengan usia dan dan daya nalarnya. Malah justru bangsa kita banyak yang harus gigit jari dipinggirkan karena perbedaan kelas dengan kaum penjajah. Di bawah ini diturunkan sekilas tentang jenjang pendidikan yang pernah ada di Nusantara pada zaman kolonial Belanda.

Sekolah kelas dua atau sekolah ongko loro merupakan sekolah rakyat atau sekolah dasar dengan masa pendidikan selama tiga tahun dan tersebar di seluruh pelosok desa. Maksud dari pendidikan ini adalah dalam rangka sekedar memberantas tidak bisa membaca dan berhitung. Bahasa pengantarnya adalah bahasa daerah dengan guru tamatan dari HIK. Bahasa Belanda merupakan mata pelajaran pengetahuan dan bukan sebagai mata pelajaran pokok sebagai bahasa pengantar. Namun setelah tamat sekolah ini murid masih dapat meneruskan pada schakel school selama 5 tahun yang tamatannya nantinya akan sederajad dengan Hollandse Indische school

Pada tahun 1848 dikeluarkan peraturan pendidikan dasar untuk Bumiputra, di mana akan didirikan sekolah dasar di seluruh pelosok Hindia Belanda. Untuk memenuhi keperluan guru, maka didirikan Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru Bantu (SGB)

Hollandsch-Inlandsche School (HIS) adalah sekolah pada zaman penjajahan Belanda. Didirikan di Indonesia pada tahun 1914  seiring diberlakukannya politik etis, sekolah ini ada pada jenjang pendidikan rendah (Lager Onderwijs) atau setingkat dengan pendidikan dasar sekarang. HIS termasuk sekolah rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda (Westersch Lager Onderwijs), bedakan dengan Inlandsche School yang menggunakan bahasa daerah. Sekolah ini diperuntukkan bagi golongan penduduk keturunan Indonesia asli, sehingga disebut juga Sekolah Bumiputera Belanda. Pada umumnya disediakan untuk anak-anak dari golongan bangsawan, tokoh-tokoh terkemuka, atau pegawai negeri. Lama sekolahnya adalah tujuh tahun.

Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) adalah bagian dari sistem pendidikan zaman kolonial Belanda di Indonesia. Pada masa sekarang ini, MULO setara dengan SMP ( sekolah Menengah Pertama ). Meer Uitgebreid Lager Onderwijs berarti “Pendidikan Dasar Lebih Luas”. MULO menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Pada akhir 30-an, sekolah-sekolah MULO sudah ada hampir di setiap ibukota kabupaten di Jawa. Hanya beberapa kabupaten di luar Jawa yang mempunyai MULO.

HCS atau Hollandsch-Chineesche School adalah sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah kolonial Belanda di Indonesia khususnya untuk anak-anak keturunan Tionghoa di Hindia Belanda saat itu. Sekolah-sekolah ini pertama kali didirikan di Jakarta pada tahun 1908, terutama untuk menandingi sekolah-sekolah berbahasa Mandarin yang didirikan oleh Tionghoa Hwee Koan sejak 1901 dan yang menarik banyak peminat. Sebagai perbandingan, pada tahun 1915 sekolah-sekolah berbahasa Mandarin mempunyai 16.499 siswa. Sementara sekolah-sekolah berbahasa Belanda hanya mempunyai 8.060 orang siswa. HCS menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya.

ELS singkatan dari Eurepeesche Lagere school adalah sekolah dasar pada zaman kolonial Belanda di Indonesia. ELS menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar. Awalnya hanya terbuka bagi warga Hindia Belanda, sejak tahun 1903 kesempatan belajar juga diberikan kepada orang-orang pribumi yang mampu dan warga Tionghoa. Setelah beberapa tahun, pemerintah Belanda beranggapan bahwa hal ini ternyata berdampak negatif pada tingkat pendidikan di sekolah-sekolah HIS dan ELS kembali dikhususkan bagi warga Belanda saja.

School  tot Opleiding van Indische Artsen ( STOVIA ) merupakan sekolah pendidikan Dokter Hindia untuk pendidikan dokter pribumi di Batavia. Sekarang sekolah ini telah menjadi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Sejarah pendiriannya bermula dari kekhawatiran akan kurangnya tenaga juru kesehatan untuk menghadapi berjangkitnya berbagai macam penyakit di wilayah jajahannya. Bermula dikeluarkan keputusan  Gubernemen no. 22 mengenai kursus juru kesehatan Hindia Belanda. Selanjutnya ditingkatkan kualitasnya melalui Surat Gubernemen no.10 menjadi sekolah Dokter Djawa. Tetapi sebagian besar lulusannya menjadi Dokter Djawa yang pekerjaannya sebagai mantra cacar. Pada tahun 1889 namanya diubah menjadi school tot opleiding van Inlandsche Geneeskundigen (sekolah ahli ilmu kedokteran pribumi) lalu pada tahun 1898 diubah lagi menjadi school tot Opleiding Inlandsche Artsen (sekolah dokter pribumi) akhirnya pada tahun 1913 diubahlah kata Inlandsche (pribumi) menjadi Indische ( Hindia ) yang siapapun dapat menempuhnya asalkan lulus tes ujian masuk dan menanggung biaya sendiri

Refrensi : Anindra Yudya Pradana; Veel Zoeken van Aroemdaloe 

Senin, 11 Oktober 2010

Rumitnya Membenahi Masalah Air Perkotaan

16 Dec 2009 
Koran Jakarta Nasional


Di perkotaan persoalan air masih sulit teratasi. Bukan hanya minimnya pasokan air bersih serta pengambilan air tanah secara berlebihan, tetapi juga perilaku boros masyarakat dalam menggunakan air menjadikan persoalan semakin rumit.

Tidak satu pun makhluk hidup yang bisa hidup tanpa air, apalagi manusia. Dalam kesehariannya, manusia tidak bisa hidup jauh-jauh dari air. Air tidak hanya untuk dikonsumsi, tetapi juga untuk keperluan lainnya, semisal memasak, mandi, mencuci, atau menyiram tanaman.Sayangnya, pada kenyataannya, air yang berperan penting dalam kehidupan manusia itu belum dikelola dengan baik, bahkan di negeri ini sistem manajemen air cenderung masih asal-asalan.

Salah satu bukti dari buruknya sistem pengelolaan air ialah penggunaan air tanah yang berlebihan. Menurut pakar lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Surjono Hadi Sutjahjo, penggunaan air tanah yang berlebihan bisa mengakibatkan permukaan tanah mengalami subsiden atau penurunan, lika kondisi itu dibiarkan terus-menerus, kota-kota besar seperti Jakarta akan mengalami intrusi air laut atau penggenangan pada permukaan tanah oleh air laut.Dampak eksploitasi air tanah akan semakin besar manakala pihak-pihak yang melakukan aktivitas itu, seperti kalangan industri manufaktur, industri pariwisata, dan masyarakat, mengeksploitasi secara berlebihan. Beberapa produsen air minum kemasan, misalnya, kerap mengambil air yang berada di lapisan akuifer dalam. Sebenarnya air yang ada di lapisan itu tidak boleh diambil. Pasalnya, hal itu dapat mengakibakan siklus hidrologi terganggu dan ketersediaan air tanah menipis.

Eksploitasi air tanah yang berlebihan juga bisa mengakibatkan rongga-rongga kosong yang ada di dalam tanah akan diisi langsung oleh air laut. Ujung-ujungnya air tanah akan terasa asin karena telah bercampur dengan air laut. Hal itu bisa terjadi jika air laut telah mendekati jarak 10 kilometer dari bibir pantai. Air tanah yang juga berfungsi sebagai penyuplai mata air untuk keperluan konsumsi masyarakat pun menjadi tidak laik dan perlu diolah lagi.
Persoalan tidak hanya menyangkut air tanah. Air di permukaan yang berupa air danau, sungai, dan rawa kini terancam tercemar karena membeludaknya sampah di perairan itu. Contoh paling nyata bisa dilihat di beberapa sungai di Jakarta. Sampah kerap terlihat memenuhi kali-kali dan menghambat aliran air. Volume sampah bahkan terus bertambah karena masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran kali menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.

Akibatnya, ekosistem sungai terancam, kualitas air bersih tereduksi, dan timbul banjir. Bukan hanya itu, hal tersebut juga menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit seperti demam berdarah dan diare yang bisa menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Kepala Pusat Limnologi Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gadis Sri Haryani mengutarakan dalam kurun 30 hingga 50 tahun ke depan, jumlah kebutuhan akses air bersih akan meningkat.Hal itu berkorelasi positif dengan bertambahnya jumlah penduduk kota besar dunia, khususnya Asia. Ironisnya, jumlah ketersediaan air bersih justru
tidak bertambah.Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali berpotensi pula menambah kotoran dan polusi terhadap sumber-sumber air bersih yang ada, seperti air tanah dan air permukaan di luar perkotaan. "Badan air seperti sungai, selokan, rawa, dan danau di kota besar masih terus-menerus dijadikan lokasi akhir pembuangan sampah dan mengalirkan limbah yang pada akhirnya terakumulasi di laut," ujar Gadis.

Perilaku Boros

Krisis pasokan air bersih disebabkan pula oleh perilaku masyarakat yang kerap boros dalam menggunakan air. Menurut Umar Anggara Jenie, Kepala LIPI, masyarakat belum bisa memanfaatkan air dengan seefisien mungkin."Sebuah pencucian mobil atau motor bisa menggunakan berliter-Hter air tawar dalam satu hari. Hal itu merupakan pemborosan," ujarnya.Saat ini, persoalan air telah mencapai titik yang memprihatinkan. Air tidak lagi menjadi sumber daya alam tak terbatas.Jika kondisi itu dibiarkan, tentu saja bisa mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang sifatnya holistik. UNESCO, badan PBB yang menaungi persoalan pendidikan dan lingkungan, mencoba menempuh solusi yang berlandaskan pada tiga elemen, yaitu penggunaan air secara rasional, ekoteknologi, dan ekohidrologi.

Penggunaan air secara rasional merujuk pada manajemen permintaan akan air bersih dan pemberian edukasi kepada masyarakat akan pentingnya penghematan air. "Setelah diberikan landasan pendidikan, seharusnya tidak ada lagi orang yang menghamburkan air bersih untuk membilas kotoran atau melakukan pencucian kendaraan bermotor," terang Hubert Gijzen, Regional Director and Representative UNESCO for Indonesia.Landasan lainnya, yakni ekoteknologi, merupakan faktor perantara antara ekologi dan ekonomi. Jadi, faktor ekologi tetap dapat menjadi sebuah produk sumber daya ekonomi tetapi tidak menggoyahkan stabilitas lingkungan. Salah satu bentuk pengaturan air berdasarkan ekoteknologi ialah pembudidayaan bibit pakan ikan di tambak.

Adapun landasan ekohidrologi ialah mengedepankan proses pengembalian sungai dan kali ke habitat lautan. Ekohidrologi sebenarnya telah menjadi wacana yang berkembang sejak 10 tahun yang lalu dan merupakan ilmu yang mempelajari interaksi proses hidrologi dengan dinamika biologi dalam berbagai kondisi spatial (ruang) dan temporal (waktu). Jadi, dalam ekohidrologi, pemecahan masalah lingkungan, terutama air, didasarkan pada kemampuan untuk memelihara proses sirkulasi air secara evolu-sioner dan dua dimensi.Konsep ekohidrologi yang diajukan UNESCO salah satunya adalah tidal flushing. Tidal flushing merupakan sebuah aksi air laut memasuki muara dua kali dalam sehari saat air pasang. Saat memasuki muara atau delta, air laut akan memperbarui salinitas dan nutrisi pada muara serta memindahkan racun yang terdapat di muara tersebut. Konsep itu telah dipraktikkan di Birmingham, Inggris.

Lantas, konsep apa yang cocok diterapkan di Jakarta? Hubert menyatakan memang agak sulit membenahi tata kota perairan di Jakarta. "Begitu kompleksnya masalah sungai di Jakarta sehingga jika satu masalah dibenahi, malah memunculkan masalah lain yang berlipat-lipat di wilayah lain," katanya.Oleh karena itu, ujarnya, implementasi program-program pembenahan perairan yang dies-timasikan berbiaya 1 juta dollar AS di I.ik.u i.i tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial. Hal penting lainnya, masyarakat mesti diajak untuk bersama-sama mengatasi persoalan. hag/L-2