Senin, 11 Oktober 2010

Rumitnya Membenahi Masalah Air Perkotaan

16 Dec 2009 
Koran Jakarta Nasional


Di perkotaan persoalan air masih sulit teratasi. Bukan hanya minimnya pasokan air bersih serta pengambilan air tanah secara berlebihan, tetapi juga perilaku boros masyarakat dalam menggunakan air menjadikan persoalan semakin rumit.

Tidak satu pun makhluk hidup yang bisa hidup tanpa air, apalagi manusia. Dalam kesehariannya, manusia tidak bisa hidup jauh-jauh dari air. Air tidak hanya untuk dikonsumsi, tetapi juga untuk keperluan lainnya, semisal memasak, mandi, mencuci, atau menyiram tanaman.Sayangnya, pada kenyataannya, air yang berperan penting dalam kehidupan manusia itu belum dikelola dengan baik, bahkan di negeri ini sistem manajemen air cenderung masih asal-asalan.

Salah satu bukti dari buruknya sistem pengelolaan air ialah penggunaan air tanah yang berlebihan. Menurut pakar lingkungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Surjono Hadi Sutjahjo, penggunaan air tanah yang berlebihan bisa mengakibatkan permukaan tanah mengalami subsiden atau penurunan, lika kondisi itu dibiarkan terus-menerus, kota-kota besar seperti Jakarta akan mengalami intrusi air laut atau penggenangan pada permukaan tanah oleh air laut.Dampak eksploitasi air tanah akan semakin besar manakala pihak-pihak yang melakukan aktivitas itu, seperti kalangan industri manufaktur, industri pariwisata, dan masyarakat, mengeksploitasi secara berlebihan. Beberapa produsen air minum kemasan, misalnya, kerap mengambil air yang berada di lapisan akuifer dalam. Sebenarnya air yang ada di lapisan itu tidak boleh diambil. Pasalnya, hal itu dapat mengakibakan siklus hidrologi terganggu dan ketersediaan air tanah menipis.

Eksploitasi air tanah yang berlebihan juga bisa mengakibatkan rongga-rongga kosong yang ada di dalam tanah akan diisi langsung oleh air laut. Ujung-ujungnya air tanah akan terasa asin karena telah bercampur dengan air laut. Hal itu bisa terjadi jika air laut telah mendekati jarak 10 kilometer dari bibir pantai. Air tanah yang juga berfungsi sebagai penyuplai mata air untuk keperluan konsumsi masyarakat pun menjadi tidak laik dan perlu diolah lagi.
Persoalan tidak hanya menyangkut air tanah. Air di permukaan yang berupa air danau, sungai, dan rawa kini terancam tercemar karena membeludaknya sampah di perairan itu. Contoh paling nyata bisa dilihat di beberapa sungai di Jakarta. Sampah kerap terlihat memenuhi kali-kali dan menghambat aliran air. Volume sampah bahkan terus bertambah karena masyarakat yang tinggal di sekitar bantaran kali menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah.

Akibatnya, ekosistem sungai terancam, kualitas air bersih tereduksi, dan timbul banjir. Bukan hanya itu, hal tersebut juga menyebabkan timbulnya penyakit-penyakit seperti demam berdarah dan diare yang bisa menurunkan kualitas kesehatan masyarakat. Kepala Pusat Limnologi Lem-
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gadis Sri Haryani mengutarakan dalam kurun 30 hingga 50 tahun ke depan, jumlah kebutuhan akses air bersih akan meningkat.Hal itu berkorelasi positif dengan bertambahnya jumlah penduduk kota besar dunia, khususnya Asia. Ironisnya, jumlah ketersediaan air bersih justru
tidak bertambah.Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali berpotensi pula menambah kotoran dan polusi terhadap sumber-sumber air bersih yang ada, seperti air tanah dan air permukaan di luar perkotaan. "Badan air seperti sungai, selokan, rawa, dan danau di kota besar masih terus-menerus dijadikan lokasi akhir pembuangan sampah dan mengalirkan limbah yang pada akhirnya terakumulasi di laut," ujar Gadis.

Perilaku Boros

Krisis pasokan air bersih disebabkan pula oleh perilaku masyarakat yang kerap boros dalam menggunakan air. Menurut Umar Anggara Jenie, Kepala LIPI, masyarakat belum bisa memanfaatkan air dengan seefisien mungkin."Sebuah pencucian mobil atau motor bisa menggunakan berliter-Hter air tawar dalam satu hari. Hal itu merupakan pemborosan," ujarnya.Saat ini, persoalan air telah mencapai titik yang memprihatinkan. Air tidak lagi menjadi sumber daya alam tak terbatas.Jika kondisi itu dibiarkan, tentu saja bisa mengancam kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena itu, diperlukan solusi yang sifatnya holistik. UNESCO, badan PBB yang menaungi persoalan pendidikan dan lingkungan, mencoba menempuh solusi yang berlandaskan pada tiga elemen, yaitu penggunaan air secara rasional, ekoteknologi, dan ekohidrologi.

Penggunaan air secara rasional merujuk pada manajemen permintaan akan air bersih dan pemberian edukasi kepada masyarakat akan pentingnya penghematan air. "Setelah diberikan landasan pendidikan, seharusnya tidak ada lagi orang yang menghamburkan air bersih untuk membilas kotoran atau melakukan pencucian kendaraan bermotor," terang Hubert Gijzen, Regional Director and Representative UNESCO for Indonesia.Landasan lainnya, yakni ekoteknologi, merupakan faktor perantara antara ekologi dan ekonomi. Jadi, faktor ekologi tetap dapat menjadi sebuah produk sumber daya ekonomi tetapi tidak menggoyahkan stabilitas lingkungan. Salah satu bentuk pengaturan air berdasarkan ekoteknologi ialah pembudidayaan bibit pakan ikan di tambak.

Adapun landasan ekohidrologi ialah mengedepankan proses pengembalian sungai dan kali ke habitat lautan. Ekohidrologi sebenarnya telah menjadi wacana yang berkembang sejak 10 tahun yang lalu dan merupakan ilmu yang mempelajari interaksi proses hidrologi dengan dinamika biologi dalam berbagai kondisi spatial (ruang) dan temporal (waktu). Jadi, dalam ekohidrologi, pemecahan masalah lingkungan, terutama air, didasarkan pada kemampuan untuk memelihara proses sirkulasi air secara evolu-sioner dan dua dimensi.Konsep ekohidrologi yang diajukan UNESCO salah satunya adalah tidal flushing. Tidal flushing merupakan sebuah aksi air laut memasuki muara dua kali dalam sehari saat air pasang. Saat memasuki muara atau delta, air laut akan memperbarui salinitas dan nutrisi pada muara serta memindahkan racun yang terdapat di muara tersebut. Konsep itu telah dipraktikkan di Birmingham, Inggris.

Lantas, konsep apa yang cocok diterapkan di Jakarta? Hubert menyatakan memang agak sulit membenahi tata kota perairan di Jakarta. "Begitu kompleksnya masalah sungai di Jakarta sehingga jika satu masalah dibenahi, malah memunculkan masalah lain yang berlipat-lipat di wilayah lain," katanya.Oleh karena itu, ujarnya, implementasi program-program pembenahan perairan yang dies-timasikan berbiaya 1 juta dollar AS di I.ik.u i.i tidak bisa dilepaskan dari aspek sosial. Hal penting lainnya, masyarakat mesti diajak untuk bersama-sama mengatasi persoalan. hag/L-2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar