Sabtu, 01 Desember 2018

Bagaimana, Sanggupkah Engkau ?



Kehendak manusia sangatlah lemah. Jangan membohongi dirimu sendiri dengan mengatakan bahwa engkau yang mencari dan engkau yang akan menemukan.

Ibrahim bin Adham dipanggil oleh Al-Haqq. Namun dia harus terlebih dulu diajari oleh orang yang membajak lahan di atap istananya, dan oleh seekor burung gagak yang menyuapi lelaki yang terikat.

Tapi jangan lupa, kau harus memerhatikan tanda-tanda. Melihat saja tidak cukup, engkau harus memerhatikan. Mendengar saja tidak cukup, engkau harus memahami.

Akhirnya, suatu hari Ibrahim bin Adham pergi meninggalkan istananya dan menuju ke padang penggembalaan. Ia bertemu dengan seorang gembala berpakaian kumal yang bertambalan di sana-sini. Walaupun di luar ia compang-camping, namun gembala itu telah menemukan Tuhan dalam kesendiriannya di padang rumput. Di dalamnya, ia telah menjadi seorang yang sangat kaya dan tampan. Sedangkan Sultan Ibrahim bin Adham, walaupun ia mengenakan busana sutra, di dalamnya compang-camping karena ia belum menemukan Al-Haqq. Ibrahim bin Adham kemudian meminta si gembala untuk saling bertukar pakaian, yang lalu menerima tawarannya.

Sang Sultan pun akhirnya berbalik dari penghadapannya kepada keduniawian. Kerajaannya, harta dan kekuasaannya, pakaian-pakaian dan kedudukannya adalah hijab-hijab penghalang antara dia dan Tuhannya. Ia robek semua itu dan mencampakkannya. Tapi tentu saja, ia harus memiliki semua hal itu dulu sebelum bisa mencampakkannya.

Lalu melangkahlah ia ke arah mana pun yang dikatakan kepadanya.

Ibrahim bin Adham dituntun kepada seorang Sultan Kebenaran, seorang guru: seorang syaikh. Di bawah perintah gurunya, Ibrahim bin Adham memulai jihad terbesarnya—yaitu perang melawan syahwat dan hawa nafsunya sendiri.

Dalam pembimbingannya sebagai seorang pejalan, guru Ibrahim bin Adham memberinya tugas untuk berkelana di dunia, supaya ia bisa mengerti dari mana ia berasal.

Dalam latihan semacam ini, engkau seperti membaca sebuah buku untuk pertama kalinya lalu mengerti beberapa hal. Lalu engkau membacanya lagi, dan mengerti beberapa hal lainnya. Kemudian, engkau membacanya untuk ketiga kalinya, dan masih juga engkau temukan beberapa hal yang lain lagi. Sang Syaikh menyuruh Ibrahim bin Adham pergi untuk membaca buku tentang kehidupan lampaunya sendiri, sehingga dia dapat memahaminya pada tingkat yang lebih tinggi.

Buku teragung adalah dunia ini, kehidupan ini. Baca, baca, dan bacalah lagi. Bagian terbanyak dari isi buku itu adalah masa lampaumu. Sejalan dengan pembacaan ulangmu yang terus-menerus, kau akan menemukan ia berubah, dan kau akan menemukan dirimu sendiri. Ia adalah buku yang sangat besar, menjangkau dari bumi ini hingga ke pojok-pojok terjauh dari seluruh langit.

Ibrahim bin Adham telah kembali ke kota Balkh pada suatu malam yang dingin di musim salju. Dia lalui malam itu dengan melaksanakan shalat Isya di Masjid Agung yang didirikannya semasa ia masih menjadi sultan.

Malam merupakan saat yang sangat penting bagi para pencari. Waktu untuk shalat Isya di masjid dimulai kira-kira satu jam setelah terbenamnya matahari, dan biasanya berlanjut sampai dua setengah jam kemudian. Setelah menyelesaikan ibadah mereka pada Allah, sebagian orang langsung pulang ke rumah untuk bersama-sama dengan orang-orang yang mereka cintai. Mereka menatap mata dan menciumi wangi rambut orang-orang terkasih mereka. Itu pun sebuah ibadah—mencintai istri dan anak-anak. Di malam hari pula, para wali besar serta para nabi biasanya mencurahkan diri mereka sepenuhnya untuk shalat dan beribadah kepada Allah.

Sedangkan Ibrahim bin Adham, setelah ia menyelesaikan shalat Isya-nya, sama sekali tidak memiliki satu tempat pun untuk dituju. Dia bergumam kepada dirinya sendiri, “Ini adalah rumah Allah, dan aku dulu membangunnya agar senantiasa terbuka kepada semua orang. Akan kucari sebuah sudut kecil untuk duduk, sekadar sebagai tempat tafakur dan beristirahat.”

Kemudian datanglah penjaga masjid. Kebetulan, belum lama berselang karpet masjid itu baru saja dicuri. Si penjaga menemukan sang “Bekas Sultan”, kini telah menjadi seorang darwis kumal, lalu berkata, “Ha! Ini dia si pencuri karpet, sekarang sembunyi di sini mau mengambil lagi!” Ia menyambar kaki Ibrahim bin Adham lalu menyeret kepalanya menuruni tangga masjid yang terdiri dari seratus anak tangga. Kepala Ibrahim bin Adham pun membentur anak tangga itu satu demi satu. Dan di sepanjang tangga menurun ke bawah, bersama setiap rasa sakit di kepalanya karena terbentur anak tangga, dia bersyukur pada Allah. Ketika telah sampai di anak tangga terbawah, dia katakan pada dirinya sendiri, “Wah, sayang sekali, seharusnya dulu kusuruh buat anak tangga lebih banyak lagi.”

Karena keberserahdiriannya pada Kehendak Ilahiah, bersama dengan setiap penderitaan yang dirasakannya, naik pulalah tingkat kesucian nafs -nya. Oleh karena Ibrahim bin Adham telah meninggalkan dunia, tertinggal pula derita-derita alam dunia. Demikianlah, engkau juga harus mengalami penderitaan-penderitaan dunia ini agar tingkat kesucian jiwamu meningkat.

Semua kitab suci mengatakan bahwa kita dihadirkan ke dunia ini untuk diuji. Engkau bisa menemukan pernyataan ini di dalam ajaran Musa a.s., ajaran Isa a.s., dan dalam ajaran Muhammad s.a.w.

Tetapi apakah sebenarnya “diuji” itu? Seorang guru menguji para siswanya untuk mengetahui tingkat kemampuan mereka, mengetahui tingkat pemahaman mereka. Si guru tidak tahu sedalam apa para siswanya telah belajar. Tapi bukankah Allah mengetahui? Allah mengetahui dengan sempurna kemampuan, pemahaman, dan tingkat kesadaran kita. Mengapa Allah menguji, adalah untuk membuat kita mengetahui. Ujian menunjukkan pada kita sendiri di mana kita berada, dan juga membuat yang lain tahu di mana kedudukan mereka, melalui ujian masing-masing.

Orang-orang yang menanggung ujian-ujian terberat adalah para kekasih Allah—para nabi, para wali, dan para guru-guru milik Allah. Mereka adalah simbol-simbol kasat mata bagi umat manusia, yang tugasnya adalah untuk menampilkan alasan kehadiran kita di dunia ini.

Akhirnya, Ibrahim bin Adham berhasil melewati hampir semua ujian yang diatur untuknya oleh syaikhnya, lalu pulanglah dia ke kota tempat tinggal syaikhnya tersebut. Sebelum kedatangannya, syaikhnya berbicara kepada murid-muridnya yang lain. Kau tahu, para syaikh mengetahui peristiwa-peristiwa yang datang dan pergi, dalam diri mereka maupun di luar diri mereka. 

Sang Syaikh menugaskan seluruh muridnya untuk pergi ke semua pintu gerbang kota. “Kalau kalian melihat Ibrahim bin Adham pulang, jangan biarkan dia masuk. Tinjulah dia, tendanglah. Ludahi, pukul, buat dia jatuh.” Ketika Ibrahim bin Adham sampai di salah satu gerbang kota, saudara-saudara seperguruannya melakukan berbagai hal yang kejam kepadanya. Dia pergi ke gerbang lain, tetapi perlakuan saudara-saudaranya di sana pun sama saja buruknya. Dia pergi ke gerbang yang ketiga dan disambut dengan cara yang sama. Ibrahim bin Adham menegaskan, “Dengar! Apa pun yang akan kalian lakukan terhadapku—walaupun kalian menumpahkan darahku atau mencoba membunuhku—tidak akan ada seorang pun yang bisa menghalangiku menjumpai Syaikh.”

Ketika akhirnya dia berhasil melewati gerbang kota, para saudaranya terus-menerus menendangi kedua tumitnya, meski dia telah mencapai rumah syaikhnya. Para pejalan tetap saja menendang, menendang, dan menendang. Ibrahim bin Adham tidak berkata sepatah pun.

Dia terus saja berusaha untuk mencapai rumah syaikhnya. Ketika seorang darwis yang masih muda—yang agak terlalu bersemangat—menendang begitu keras sehingga kulit bagian belakang tumitnya terkelupas. Ibrahim bin Adham berbalik dan berkata dengan tenang, “Mengapa kalian lakukan semua ini kepadaku? Bukankah kalian tahu bahwa aku pun saudaramu? Aku juga seorang darwis. Apakah kalian masih saja menganggapku Sultan Balkh?”

Para darwis kemudian melaporkan hal ini kepada Syaikh, yang kemudian mengatakan, “Nah, lihatlah, dia belum berhasil mencapai maqam pelepasan. Dia masih belum melupakan siapa dirinya sebelumnya. Cita rasa kecukupan, nikmatnya kekuasaan seorang raja masih tertinggal di ingatan pangkal lidahnya dan dalam kenangannya.” 

"Jalan ini tak semudah ucapan, bahkan tak cukup hanya andalan kemampuan. Lebih dari itu tiap saatnya membutuhkan berterusan pembaharuan iman, permohonan pertolongan dan tetapnya hakikat pelayan keilahian ".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar