Kamis, 04 April 2019

Tokoh-Tokoh Walisongo : Sunan Ampel


Sunan Ampel

Beliau putra Syaikh Ibrahim As-Samarkandi, adalah tokoh walisongo tertua yang berperan besar dalam pengembangan dakwah Islam di Jawa dan tempat lain di Nusantara

Melalui pesantren Ampeldenta, Sunan Ampel mendidik kader-kader penggerak dakwah Islam seperti Sunan Giri, Raden Patah, Raden Kusen, Sunan Bonang, Sunan Drajad.

Sunan Ampel menikahi putri Arya Teja, Bupati Tuban, yang cucu Arya LembuSura Raja Surabaya yang muslim.

Raden Rahmat datang ke Jawa bersama saudara tuanya yang bernama Ali Musada (Ali Murtadho) dan saudara sepupunya bernama Raden Burereh (Abu Huraira). Mereka mendarat di Tuban.

Setelah tinggal di Tuban beberapa lama sampai ayahandanya wafat. Raden Rahmat berangkat ke Majapahit menemui bibinya (Ratu Dwarawati) yang dikawin Raja Majapahit yang masih beragama Budha

Babad Ngampeldenta menuturkan bahwa pengangkatan resmi Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya dengan gelar sunan dan kedudukan wali di Ngampeldenta dilakukan raja Majapahit

Dalam perjalanan menuju Ampel, Raden Rahmat melewati daerah Pari, Kriyan, Wonokromo, dan Kembang Kuning yang berupa hutan. Ditempat itu Raden Rahmad bertemu dengan Ki Wiryo Sarojo / Ki Wirajaya yang dikenal sebagai Ki Bang Kuning yang kemudian menjadi pengikut Raden Rahmat. Raden Rahmat dikisahkan membangun masjid dan menyebarkan dakwah Islam kepada masyarakat sekitar

Menikah dengan putri Ki Bang Kuning yang bernama Mas Karimah, yang melahirkan dua orang putri : Mas Murtosiyah dan Mas Murtosimah.

Mas Murtosiyah dinikahkan dengan santrinya, yaitu Raden Paku yang bergelar Sunan Giri.

Mas Murtosimah dinikahkan pula dengan santrinya yang lain, yaitu Raden Patah yang menjadi Adipati Demak.

Santrinya yang lain, Raden Kusen, adik Raden Patah dinikahkan dengan cucu perempuannya yang bernama Nyai Wilis

Raja Majapahit tidak langsung mengangkat Raden Rahmat di Ampeldenta, melainkan menyerahkan kepada Adipati Surabaya bawahan Majapahit bernama Arya Lembusura yang beragama Islam.

Arya Lembusura yang beragama Islam menempatkan Raden Santri Ali menjadi imam di Gresik dengan gelar Raja Pendita Agung dengan nama Ali Murtala (Ali Murtadho).

Setelah itu, Arya Lembusura menempatksn Raden Rahmat sebagai imam di Surabaya dengan gelar Sunan Ampeldenta, dengan nama Pangeran Katib.

Raden Rahmat menikah dengan Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja dari Tuban. Sedangkan Arya Teja menikahi putri Arya Lembusura dan menurunkan bupati-bupati Tuban. Itu berarti Nyai Ageng Manila yang dinikahi Raden Rahmat itu adalah cucu perempuan Arya Lembusura.

Oleh karena terhitung cucu menantu Arya Lembusura, maka pada saat Arya Lembusura mangkat, maka Raden Rahmat menggantikan kedudukannya sebagai penguasa Surabaya.

Setelah kedatangan para penyebar islam Champa yang dipelopori Sunan Ampel, penduduk Majapahit mulai mengenal tradisi keagamaan "kenduri" dan memperingati kematian seseorang pada hari ke-3, ke-7, ke-40, ke-100, dan ke-1000.

Orang Champa juga mempunyai kebiasaan untuk mentalqin orang mati, melakukan peringatan haul, membuat bubur Asyuro, memeriahkan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, tradisi Rebo Wekasan, Nishfu Sya'ban, paham wihdatul wujud, larangan menyelenggarakan hajat menikahkan keluarga, mengkhitankan anak, dan pindah rumah pada bulan Syuro.

Juga pembacaan kasidah-kasidah yang memuji Nabi Muhammad SAW dan Ahlul Bait, Si'iran pepujian yang ditujukan kepada Ali bin Abi Thalib dan keturunannya, dan wirid-wirid yang diamalkan kalangan muslim tradisuonal Jawa adalah hasil pengaruh tradisi keagamaan Champa

Bahkan Istilah "kenduri" pun, jelas menunjuk kepada pengaruh Syi'ah karena istilah itu dipungut dari bahasa Persia : "kanduri", yakni upacara makan-makan di Persia untuk memperingati Fatimah az-Zahroh, putri Nabi Muhammad SAW.

Menurut S.Q Fatimy dalam Islam comes to Malaysia (1963), Madzab orang-orang Islam di Champa beraliran Syi'ah. Namun, bagian terbesar orang-orang Islam Champa sudah kehilangan orientasi dan mengalami diskontinuitas sejarah sehingga tidak mengetahui lagi secara benar jika Islam yang mereka jalankan adalah Islam pengaruh Syi'ah, terutama syiah Zaidiyah.

Selaian mengajarkan ilmu syariat juga mengajarkan tarekat dan hakikat, menhajarkan ilmu tasawuf dengan laku suluk menurut ajaran tarekat Naqsyabandiyah. Raden Rahmat saat itu dianggap sederajat dengan para guru suci Syiwais yang berwenang melakukan diksha (baiat) yang diberi sebutan kehormatan 'susuhunan"

Pertama, Sebutan susuhunan atau sunan diberikan kepada Raden Rahmat karena kedudukan sebagai Raja (Bhupati) Surabaya yang berkediaman di Ampel, sehingga menjadi susuhunan atau Sunan Ampel.

Kedua, sebutan susuhunan atau sunan diberikan kepada Raden Rahmat karena kedudukannya melakukan diksha (baiat) kepada siswa-siswa rohaninya

Dalam menjalankan ajaran Islam berupa, sholat. Sunan Ampel juga mendapat tantangan karena sholat dengan gerakan-gerakan ritualnya dianggap aneh. Di dalam Babad Tanah Jawi digambarkan bagaimana orang-orang menertawakan Sunan Ampel karena melakukan ibadah sholat yang dianggap aneh

(putra Champa/ ngabekti Yang Widi/ tininggalan ing wong Majalangu/ padha gumuyu kabeh/ ujare wong Mojolangu/ bodho temen bocah puniki/ ngadhep ngulon bocah tetiga/ cangkeme celathu/ tangane ngakep dhadha/ dengkule dipun pijeti/ tumulya ngambung kelasa//

Namun, Sunan Ampel dikisahkan sangat sabar menghadapi semua celaan. Bahkan, saat dicela karena memilih-milih makanan - menolak makan babi dan katak tetapi memilih makan daging kambing yang apek - Sunan Ampel tetap sabar dan tidak marah

(nulya ana wong anom suwiji/ mara ngucap/ maring putra champa/ ya iku kurang pikire/ babi gurih datan ayun/ kodok kungkang datan binukti/ amilih daging menda/ ambune pan perangus/ ananging putra Champa/ datan duka maring bocah Majapahit/ mila bocah maksih nom noman//

(Sumber : Atlas Walisongo - Agus Sunyoto)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar